III. Meningkatnya jumlah uang beredar lebih cepat dari pertumbuhan barang dan jasa.
Ketika harga migas di pasaran dunia turun drastis maka pada
tahun 1983 pemerintah mulai menggalakan eksport non migas. Untuk itu
diperlukan peningkatan investasi disektor non migas. Agar investasi
meningkat maka diperlukan deregulasi/liberalisasi perbankan. Tahap
pertama adalah deregulasi bank2 negara melalui Pakjun (paket 1 juni
1983) yang memungkinkan bank2 negara lebih banyak menghimpun dana
masyarakat (melalui peningkatan bunga tabungan deposito) dan
mengalokasikannya dalam bentuk kredit investasi (sebelumnya hanya
berdasarkan persetujuan Bank Indonesia).
Setelah pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan2 non moneter selama 1984-19887, maka pada 27 Oktober 1988 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan deregulasi untuk bank2 swasta (dikenal dengan Pakto). Persyaratan pendirian bank swasta dipermudah (dengan hanya bermodalkan Rp.10 milyard siapapun boleh mendirikan bank!) dan bank asing yang sebelum 1988 hanya boleh beroperasi di Jakarta, boleh mendirikan bank di kota2 besar di luar Jakarta sedangkan bank swasta nasional boleh beroperasi sampai di tingkat kabupaten. Sejak itu bank2 swasta dengan kantor2 cabangnya tumbuh menjamur.
Tahun 1988 terdapat hanya 75 bank dengan 1640 kantor2 cabang sedangkan tahun 1996 terdapat 238 bank dengan 5639 kantor cabang diseluruh Indonesia. Dalam waktu kurang dari 10 tahun jumlah bank meningkat lebih dari 300% sedangkan jumlah kantor2 bank meningkat hampir 350%. Nilai alokasi kredit sejak 1988 hingga 1996 meningkat sampai 751%!!. Pada 1988 jumlah alokasi kredit Rp. 40,8 triliyun sedangkan 1996 meningkat menjadi Rp. 306,6 triliyun8.
Peningkatan ini sangat mencolok terutama pada 2 tahun terakhir. Akibatnya jumlah uang beredar bertambah lebih cepat daripada pertambahan barang dan jasa di pasaran dalam negri, sehingga harga2 dalam negri terdorong naik (lebih cepat dari kenaikan harga barang di USA, dimana Bank Sentralnya berhasil mengendalikan jumlah peredaran uang di dalam negri mereka). Oleh karena itu nilai mata uang Rp. dalam AS$ menurun tajam; dengan kata lain harga AS$ di Indonesia naik dengan pesat.
Setelah pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan2 non moneter selama 1984-19887, maka pada 27 Oktober 1988 pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan deregulasi untuk bank2 swasta (dikenal dengan Pakto). Persyaratan pendirian bank swasta dipermudah (dengan hanya bermodalkan Rp.10 milyard siapapun boleh mendirikan bank!) dan bank asing yang sebelum 1988 hanya boleh beroperasi di Jakarta, boleh mendirikan bank di kota2 besar di luar Jakarta sedangkan bank swasta nasional boleh beroperasi sampai di tingkat kabupaten. Sejak itu bank2 swasta dengan kantor2 cabangnya tumbuh menjamur.
Tahun 1988 terdapat hanya 75 bank dengan 1640 kantor2 cabang sedangkan tahun 1996 terdapat 238 bank dengan 5639 kantor cabang diseluruh Indonesia. Dalam waktu kurang dari 10 tahun jumlah bank meningkat lebih dari 300% sedangkan jumlah kantor2 bank meningkat hampir 350%. Nilai alokasi kredit sejak 1988 hingga 1996 meningkat sampai 751%!!. Pada 1988 jumlah alokasi kredit Rp. 40,8 triliyun sedangkan 1996 meningkat menjadi Rp. 306,6 triliyun8.
Peningkatan ini sangat mencolok terutama pada 2 tahun terakhir. Akibatnya jumlah uang beredar bertambah lebih cepat daripada pertambahan barang dan jasa di pasaran dalam negri, sehingga harga2 dalam negri terdorong naik (lebih cepat dari kenaikan harga barang di USA, dimana Bank Sentralnya berhasil mengendalikan jumlah peredaran uang di dalam negri mereka). Oleh karena itu nilai mata uang Rp. dalam AS$ menurun tajam; dengan kata lain harga AS$ di Indonesia naik dengan pesat.
Mengapa alokasi kredit sangat pesat? Sebagian besar pemilik bank swasta adalah konglomerat yang beroperasi berdasarkan kelompok bisnis “in group”. Dalam tahun2 terakhir bank swasta banyak beralih fungsi menjadi penyalur kredit untuk group sendiri. Akibatnya kontrol bank sebagai pemberi kredit atas nasabah yang menggunakan kredit tidak berfungsi sebagai mestinya.
Kalau ada kredit yang sudah lebih dari 3 bulan tidak dikembalikan maka kredit tsb dikatagorikan sebagai kredit macet. Dalam situasi seperti ini bank swasta boleh mengajukan kredit likwiditas (KLBI) pada BI. Untuk menyehatkan bank tsb BI terpaksa memberikan fasilitas KLBI itu (tentu saja ada faktor kolusi antara bank penerima KLBI dan fihak BI!!)9.
Kasus ambruknya Bank Suma10 dan kasus Golden Key (kasus Edi Tansil)11 menunjukan lemahnya otoritas BI dalam mengontrol praktek bank2 di Indonesia. Pakto 88 memungkinkan peningkatan alokasi investasi yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi, tapi akhirnya karena lemahnya kontrol BI (karena kuatnya pengaruh politik pemilik bank atau adanya kolusi antara pemilik bank dan aparat BI) atas kinerja bank2 di Indonesia, maka liberalisasi perbankan menjadi “boomerang” yang melukai sektor moneter Indonesia, sehingga IMF perlu turun tangan membantu menyembuhkannya (sekalipun hanya untuk sementara waktu!).
Perlu digaris bawahi bahwa para pemilik bank yang dilikwidasi sebenarnya tidak mengalami kerugian (sebelumnya mereka telah meraup dana tabungan masyarakat dan kredit dari BI untuk kepentingan usaha2 mereka), yang bangkrut adalah bank (baca: organisasi) mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar