Krisis Nilai Tukar Rupiah – Dollar US 1997 bag 5

  1. Menguatnya nilai AS$ di pasaran dunia dan imbas penurunan drastis mata uang Baht, Peso dan Ringgit.

Sejak akhir tahun 1996 ketika presiden AS Bill Clinton terpilih untuk kedua kalinya, ekonomi AS terus membaik (pertumbuhan ekonomi secara konstant yang relatif tinggi, tingkat inflasi yang rendah, tingkat pengangguran yang relatif rendah dibanding negara industri lainnya).


Selain itu negara2 industri lainnya (negara2 EU & Jepang) sedang menjalankan politik konjungtur dengan menetapkan tingkat bunga rendah untuk mendorong investasi dan peningkatan lapangan kerja. Perkembangan2 tsb. ditambah dengan dugaan bahwa Alan Greenspan, gubernur Fed Res Bank (bank sentral AS) akan meningkatkan suku bunga utama AS, mendorong naiknya nilai AS$ di pasaran valuta asing (valas) dunia. Nilai DM Jerman dalam AS$ yang terkenal stabilpun sejak awal Januari hingga 6 Agustus 1997 turun sampai 22%. 

Kecenderungan yang semacam terlihat pada nilai mata uang negara2 industri lainnya (tapi cadangan devisa mereka cukup andal). Thailand, Philipina & Malaysia yang cadangan devisanya rendah (karena tingginya defisit dalam “neraca tahun yang berjalan” mereka) mengalami serangan2 para spekulan di negara2 yang bersangkutan yang memburu AS$ dan melepas Baht, Peso & Ringgit yang sebelumnya mereka tahan13; akibatnya harga AS$ di negara2 tsb. naik dengan pesat. Demikian juga nilai kurs saham di negara2 ini turun drastis karena sebagian besar fund manager peserta pasar modal menjual saham2/kertas berharga dan menukarkan uang hasil penjualan tsb. dengan AS$ dipasar valas.



VI. Implikasi politik.

Dilikwidasinya ke 16 bank swasta oleh Menkeu jelas dalam waktu singkat akan menurunkan lajunya jumlah uang beredar (reformasi dibidang moneter); akan tetapi apakah fungsi kontrol BI atas bank lainnya akan bisa berjalan sebagaimana mestinya??. 
Selanjutnya, disatu fihak dana segar dalam bentuk AS$ dari IMF, WB & ADB serta negara2 tetangga (sejak 1 Nov. 1997 hutang LN bertambah AS$ 30 milyard) dapat menurunkan dan menstabilkan nilai Rp., dilain fihak proses industrialisasi yang sangat bergantung pada import modal asing, import barang & jasa, secara strutural belum dibenahi14; dengan demikian neraca barang dan jasa akan tetap dalam keadaan defisit.

Rescue package IMF yang bernilai hampir Rp. 100 triliyun itu tidaklah sebanding dengan dana IDT untuk mengentaskan kemiskinan, yang hanya berjumlah Rp.1,2 triliyun. Siapakah sebenarnya yang menarik keuntungan dari rescue package IMF&WB itu? Sebetulnya tanpa IMF, Menkeu & BI sudah sejak lama tahu apa yang harus dilakukan; dengan kata lain pemerintah RI (baca: presiden Suharto) mampu melikwidasi bank2 swasta manapun; dana segar dalam AS$ (tidak perlu sampai AS$ 30 milyard) untuk mendinginkan pasar valas dapat dicari di pasar internasional atau negara2 tetangga. 

Nampaknya krisis moneter 1997 ini berimplikasi politik!! Kemenangan yang gemilang dari krisis moneter ini adalah presiden Suharto yang mendapat banyak dukungan dari berbagai pihak di dalam dan luar negri15. Bukan presiden RI yang datang menemui Michel Camdesus (direktur IMF), tapi sebaliknya Michel Camdesus datang ke Jakarta pada 14 Nov 1997 menemui presiden RI (yang akan kembali terpilih sebagai presiden RI untuk ketujuh kalinya)16 untuk menyatakan dukungannya thdp jawaban tegas dari presiden RI atas krisis moneter di Indonesia. 

Presiden Suharto dengan meminjam legitimasi serta kompetensi IMF&WB ingin menunjukkan otoritas kekuasaannya yang otonom tidak saja terhadap lembaga2 politik di Indonesia tapi juga terhadap keluarga dan kerabat2nya. Tentu saja hal ini akan memulihkan kepercayaan fihak luar (terutama investor asing) dan dalam negri terhadap situasi ekonomi dan politik di Indonesia. Dengan demikian legitimasi politik presiden RI menjelang sidang umum semakin bertambah.


Besarnya dana rescue package IMF melebihi perkiraan para ahli. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan pentingnya kestabilan ekonomi-politik Indonesia bagi negara2 industri donatur IMF,WB&ADB. 
(1) Karena keuntungan2 lokasinya (antara lain karena murahnya tenaga kerja dan lemahnya pelaksanaan UU Lingkungan), maka Indonesia selama pemerintahan orba banyak dibanjiri oleh investasi dari negara2 industri. Karena besarnya nilai investasi2 ini, para investor asing tidak menghendaki ketidak stabilan ekonomi-politik di Indonesia. 
(2) Indonesia tidak saja merupakan negara besar sebagai penyedia sumber alam tapi juga sebagai pasar yang besar. 
(3) Pemerintah orba sejauh ini bisa memenuhi kepentingan2 investor asing dan belum pernah menunggak hutang2 nya. 
(4) Negara2 di Pasifik yang ekonominya kuat seperti Jepang, AS, Kanada, Australia, Korsel, Singapura dan Taiwan mempunyai komitmen yang kuat terhadap APEC. Ketidak stabilan ekonomi-politik di Indonesia bisa memusnahkan impian negara2 APEC atas terwujudnya “free market zone” di kawasan Pasifik. Secara geopolitis kestabilan ekonomi-politik Indonesia penting bagi keseimbangan geopolitik di Asia Tenggara (misalnya untuk mencegah dominasi RRC).


Kesimpulan terakhir adalah bahwasanya ada atau tidaknya rescue package IMF&WB yang bernilai AS$ 30 milyard itu, secara signifikan, tidak akan merubah nasib rakyat kecil yang tetap merupakan sebagian besar dari penduduk Indonesia. Sekian! 
Tks to Pri
(Priyanto).




Klik nomer dicatatan kaki untuk kembali ke teks 
1. Kenaikan harga minyak di pasaran dunia awal 70an mengakibatkan berlimpahnya cadangan devisa yang menambah jumlah peredaran uang di Indonesia dan meningkatkan harga2 dalam negri sehingga sektor eksport non migas makin tidak kompetitf lagi (rangkaian sebab-akibat ini dikenal dengan dutch desease ;di tahun 60an negri Belanda mengalami hal yang sama). Devaluasi 15 Nov. 1978 dimaksudkan untuk menyembuhkan dutch desease, yaitu agar sektor non migas menjadi kompetitif di pasaran internasional. 

2. Termasuk bank milik para konglomerat dan keluarga Presiden, yaitu bank Andromeda yang dimiliki Bambang Tri, Prayogo Pangestu & Johanes Kotjo, bank Jakarta yang dimiliki Probosutedjo (sebagai catatan, Dr. Didiek Rachbini anggota pengurus ICMI yang sering menulis tentang ekonomi juga menjadi komisaris bank Jakarta), bank Industri yang sebagian dimiliki Titiek Prabowo, bank Pacific yang dimiliki Ponco Sutowo, bank BHS yang dimiliki Hendra Rahardja distributor tunggal motor Yamaha dan bank Dwipa dimana eks Kabakin Letjen.Yoga Sugama menjabat sebagai anggota komisaris.  
3. Para peserta bursa saham di BEJ (Bursa Saham Jakarta) yang lebih dari separuh adalah Fund Managers asing yang mempunyai jaringan internasional, yang karena penurunan nilai rupiah, melepas/menjual saham2 yang sebelumnya mereka beli (yang nota bene semuanya dinyatakan dalam rupiah). Rupiah yang mereka dapatkan dari hasil penjualan saham2 tsb. di tukarkan ke AS$. Oleh karena itu jumlah penawaran saham meningkat pesat sehingga harganya merosot tajam sedangkan permintaan akan AS$ bertambah sehingga harganya naik. Perkembangan ini menambah parahnya krisis mata uang rupiah.  
4. Pada hakekatnya, predikat Baru dalam istilah Orde Baru sudah tidak cocok lagi karena sudah 30 tahun lamanya!! 5.Tragisnya, pada zaman pemerintahan Belanda, Indonesia bahkan mengekspor beberapa komoditi pertanian tsb. 6.Hal ini disebabkan antara lain karena tingkat pendidikan, kemampuan manejerial, infrastruktur, efisiensi birokrasi (banyak korupsi & kolusi), kemampuan riset & tingkat teknologi Indonesia masih lebih rendah dari negara2 partner dagang, sehingga daya kompetisi lemah. Akibatnya Indonesia lebih banyak membeli barang dan (terutama jasa2) dari luar negri dari pada menjualnya. 7. Swastanisasi instansi bea & cukai kepada perusahaan Swiss SGS (tapi sejak 1 April 1997 diambil alih kembali oleh Ditjen bea & cukai), penyederhanaan izin investasi, pemberian insentif pada para eksportir dan dilonggarkanya peraturan2 dibidang import.  
8. Para Bankir/konglomerat inilah yang sebenarnya banyak memegang rupiah dan yang sejak Juli 1997 turut beramai ramai menukarkan rupiah mereka ke AS$ sehingga stock AS$ di BI, bank2 devisa dan money changer merosot tajam sehingga mendorong harga AS$ naik.  
9. Menurut pengumuman pemerintah kredit macet tahun 1995 berjumlah Rp. 10 triliyun (banyak orang yang memperkirakan lebih). Bandingkan dengan Rp. 1,2 triliyun dana Inpres Desa Tertinggal yang dimaksudkan untuk membebaskan 14% atau 24 juta penduduk termiskin di Indonesia dari kemiskinan. 
10. Bank Suma dinyatakan bangkrut antara lain karena kalah kliring, yaitu ketidak sanggupan bank Suma untuk mencairkan CP (commercial paper), promes dan surat hutang lainnya yang di jamin oleh Bank Suma dan dijual oleh group Suma kepada fihak lain. Bank Suma pernah menerima fasilitas KLBI tapi permohonan terakhir bank Suma untuk menerima KLBI ditolak oleh BI karena kredit sebelumnya belum dikembalikan. Kredit macet Bank Suma bernilai Rp.1,2 triliyun, hutangnya Rp.0,5 triliyun dan kalah kliring sebanyak Rp.70 milyard. Sejak 14 Des. 1992 bank Suma dilikwidasi oleh BI. 
11. Atas rekomendasi Menkeu Sumarlin dan Ketua DPA Sudomo, Bapindo memberikan kredit pada PT. Golden Key (Edi Tansil sebagai dirutnya) sebanyak Rp.1 triliyun tapi kredit tsb. tidak dibayar kembali. 
12. Setelah krisis rupiah berjalan lebih dari 3 bulan fihak Deptkeu. & BI pada 10 Oktober 1997 baru merasa perlu untuk memanggil perusahaan2 blue chips (60 perusahaan2 yang terpenting dalam bursa saham di Jakarta) yang diperkirakan paling banyak hutang luar negrinya, untuk melaporkan stand terakhir hutang2 luar negri mereka. 13. Tuduhan PM Malaysia Mahathir Muhammad thdp. George Soros (spekulan warga negara AS, pemilik Soros Fund Management) sebagai biang keladi jatuhnya nilai Ringgit, tidak beralasan karena spekulan Malaysia yang banyak memegang Ringgit lah yang potensial memborong AS$ di Kuala Lumpur, bukan George Soros yang memang modal dasarnya dalam bentuk AS$!! 
14. Proyek2 besar yang kembali dijalankan tidak ada yang mengurangi ketergantungan import.  
15. Kemenangan yang serupa dialami presiden RI pada 1991 setelah kasus Dili (Santa Cruz). Melalui Letjen Faisal Tanjung (Ketua Dewan Kehormatan Militer), presiden RI mengkoreksi secara besar2 an keterangan Pangab Jend. Tri Sutrisno mengenai jumlah korban Santa Cruz dan memberhentikan (dengan hormat) dua jenderal penting ABRI (Sintong Panjaitan & Rudolf Warouw). Hasil akhir yang paling penting adalah pujian/dukungan dari dalam dan luar negri (termasuk organisasi2 HAM) terhadap tindakan lugas presiden Suharto atas kasus tsb. 
16. Presiden Mexico Zedilo 1995 harus datang ke Washington untuk menjemput rescue package dan menggadaikan perusahaan minyak negaranya pada pemerintah AS sebagai jaminan pengembalian pinjaman.
Sumber : www.oocities.org
Silahkan di share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar