Nilai tukar (kurs) rupiah akhirnya menembus 10.000 per dollar. Angka ini semula banyak dikhawatirkan karena dianggap semacam ‘batas psikologis’, sehingga tidak boleh terlewati. Bila batas tadi terlewati ditakutkan akan menyebabkan kepercayaan terhadap Rupiah merosot, karena anggapan apabila angka ini terlampaui maka kurs akan terus melemah. Bisa jadi hal ini mencerminkan semacam ‘trauma’ sejarah terhadap nilai tukar.
Indonesia memang pernah mengalami pengalaman pahit ketika terjadi krisis 1997/98, yang oleh banyak pihak disebut sebagai krisis nilai tukar. Saat itu nilai tukar rupiah merosot sangat tajam, menyebabkan nyaris ambruknya sistem perbankan dan banyak perusahaan gulung tikar serta perekonomian mengalami kontraksi sangat tajam. Bahkan, pemerintahan ‘jatuh’ hingga akhirnya kita mengalami perubahan yang mendasar di bidang politik dan sosial.
Trauma sejarah memang sangat mempengaruhi sikap dan perilaku kita, termasuk dalam merespon pelemahan nilai tukar. Hal ini serupa dengan Jerman yang sangat trauma dengan inflasi yang luar biasa tinggi (hyper-inflation) di awal tahun 1920-an, sehingga bank sentralnya, Bundesbank, terkenal sangat anti inflasi hingga kini. Akibat merosotnya nilai tukar Rupiah saat itu juga menyebabkan penduduk miskin Indonesia bertambah, dari semula 11% menjadi 37% (Jomo Kwame Sundaram dalam ‘A World of Vulnerability’, www.project-syndicate.org, 13 Juli 2013).
Untunglah, saat ini kurs Rupiah tidak melemah sendirian. Hampir semua mata uang dunia, kecuali mata uang China (Renminbi), nilainya merosot terhadap dollar AS. Sejak awal tahun misalnya, kurs Rupiah merosot sekitar 4% terhadap dollar AS, mirip dengan Ringgit Malaysia dan Won Korea. Mata uang India, Rupee bahkan merosot lebih tajam terhadap dollar AS, sekitar 7,5% sejak awal tahun. Pemicu utamanya adalah ketakutan akan berkurangnya ketersediaan dollar di pasar global karena bank sentral AS, the FED, berencana akan mulai mengurangi ‘mencetak uang besar-besaran’ (stimulus moneter).
Kurs mata uang memang tak ubahnya harga suatu mata uang dari mata uang lainnya.Namun sebagaimana barang, harganya ditentukan oleh banyak faktor, tidak semata mengikuti hukum permintaan dan penawaran yang baku. Unsur persepsi yang berujung pada pemahaman (ekspektasi), seringkali justru lebih menentukan.
Harga minyak (oil) dunia misalnya, bila ada ancaman perang di negara penghasil minyak, maka muncul persepsi bahwa pasokan minyak terganggu dan akan menyebabkan kelangkaan pasokan. Akibatnya, ekspektasi bahwa harga minyak akan semakin mahal ke depan. Hal serupa juga terlihat di harga pangan, pada saat panen terganggu misalnya, atau fenomena yang terjadi saat menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri seperti yang terjadi saat ini.
Dalam kondisi seperti itu, penjual akan mulai menimbun stok, menunda penjualan atau mulai menawarkan dengan harga lebih mahal. Sebaliknya, pembeli akan cenderung membeli lebih banyak untuk menambah stok, demi menghindari membeli di harga yang lebih mahal bila di kemudian hari.
Motif transaksi berjaga-jaga seperti itu karena adanya ketidakpastian (precautionary), termasuk yang sifatnya spekulatif, seringkali lebih menentukan harga. Bila hal ini yang terjadi, maka menjaga keyakinan kecukupan pasokan menjadi penting sehingga otoritas/pemerintah harus turun tangan untuk menjamin ketersediaan pasokan barang.Tentu sekaligus berusaha agar motif spekulasi tidak semakin subur.
Prinsip serupa juga berlaku untuk nilai tukar, karena nilai tukar tak lain adalah harga suatu matan uang. Dalam hal ini, keyakinan akan selalu tersedianya mata uang lain (valuta asing atau devisa) yang cukup, menjadi sangat penting. Namun tentunya perlu diingat pula bahwa mata uang adalah media pertukaran (alat pembayaran) barang dan jasa. Jadi, tidak sepatutnya diperdagangkan layaknya komoditas. Meskipun dalam perkembangannya saat ini, nilai tukar sudah menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Nah, keperluan memiliki mata uang asing sebagai alat pembayaran di pasar internasional, bisa muncul dari beragam keperluan. Bisa untuk tujuan membayar barang dan jasa yang dibeli dari luar negeri (impor) atau untuk membayar utang. Sementara, perolehan devisa berasal dari hasil penjualan ke negara lain (ekspor) atau dari utang. Termasuk dari devisa yang masuk dari investor asing yang berinvestasi di dalam negeri.
Lazimnya, perolehan dan pengeluaran devisa tersebut tercatat di suatu neraca pembayaran atau balance of payment (BOP) suatu negara. Sementara bila hanya memperhitungkan ekspor dan impor, disebut neraca perdagangan (current account).
Negara-negara yang ekspornya selalu melebihi impornya, apalagi bila menjadi tujuan investasi tentu akan memiliki devisa yang semakin bertambah. Tak heran bila negara seperti China atau Korea Selatan, cadangandevisanya terus meningkat. Sebaliknya, bila nilai impor lebih besar dari ekspor sementara investasi asing berkurang atau justru keluar, tentu akan mengalami defisit dan kurs mata uangnya akan cenderung melemah.
Lantas, berapa nilai tukar yang wajar?
Berbeda dengan barang yang harga wajarnya ditetapkan berdasarkan biaya produksi (plus biaya distribusi dan pemasaran) ditambah dengan marGin keuntungan tertentu, yang relatif lebih bisa dihitung, tidak demikian halnya dengan nilai tukar.
Biasanya, kewajaran nilai tukar dikatakan bila sesuai dengan kondisi fundamental suatu negara. Meskipun demikian kondisi fundamental ekonomi itu seperti apa tidak pernah terdefiniskan dengan jelas. Akibatnya, nilai tukar yang wajar menjadi sulit ditentukan. Dengan demikian, nilai tukar suatu mata uang terlalu mahal (over-valued) atau terlalu murah (under-valued) juga tidak mudah mengukurnya.
Kurs nilai tukar memang tengah menjadi sorotan, terutama sejak fenomena beberapa negara yang diduga sengaja membuat nilai tukarnya melemah agar daya saing ekspornya lebih baik, yang dikenal dengan ‘currency war’. Hal ini karena dengan nilai tukar yang melemah, maka harga jual barang produksinya di dalam mata uang asing akan lebih murah. Meskipun saat ini, kondisinya berbalik banyak negara justru takut nilai tukarnya melemah secara tidak wajar.
Kalangan akademisi sudah lama mencoba mengembangkan berbagai pendekatan, termasuk dengan berbagaimodel ekonometrik untuk menjelaskan nilai tukar yang wajar suatu negara. Juga untuk memperkirakan arah pergerakannya ke depan. Meski begitu, belum satupun yang dinilai cukup meyakinkan. Hal ini misalnya dikatakan oleh profesor ekonomi dari Universitas Harvard, Kenneth Rogoff dalam salah satu essay-nya terkait kebijakan ekonomi: ‘The failure of empirical exchange rate models: no longer new, but still true’.
Dalam sejarah kurs mata uang, justru George Soros yang dianggap pernah menilai dengan akurat kurs suatu mata uang yang wajar dan dengan demikian prediksi arahnya. Hal ini mengacu pada apa yang ia lakukan tahun 1992. Saat itu, dia menganggap bahwa kurs Pound Sterling terlalu kuat, sehingga akan melemah. Dengan penilaian itu, dia melakukan transaksi senilai semilyar US Dollar terhadap Pound Sterling. Akhirnya Soros terbukti benar dan meraup keuntungan besar. Konon, sejak saat itulah kegiatan spekulasi mata uang mulai marak. Bahkan, IMF yang kini semakin menaruh perhatian terhadap perkembangan nilai tukar negara-negara di dunia, terus berusaha menyempurnakan metodenya untuk melihat kewajaran nilai tukar suatu negara. Metode yang dikembangkan oleh Consultative Group on Exchange Rate (CGER) di IMF sejak 1997, kini juga masih terus dikembangkan.
Intinya, metode yang digunakan CGER mengukur kewajaran nilai tukar suatu negara dengan 3 pendekatan. Pertama, dari sisi kondisi internal ekonomi makro suatu negara, yang diukur dengan membandingkan antara kapasitas produksi barang dan jasa atau pasokan dengan permintaannya (dikenal dengan output gap). Kedua, sisi eksternal suatu negara. Ini dilihat dari perkembangan aliran devisa dari ekspor dan impor (neraca berjalan). Ketiga, dari posisi aset dan kewajiban dalam valas suatu negara.
Yang paling sederhana untuk menilai wajar atau tidaknya nilai tukar suatu negara adalah membandingkan antara harga suatu jenis tertentu barang di berbagai negara, dengan nilai tukar yang ada saat ini. Pendekatan ini pada dasarnya mengukur nilai tukar dengan memperhitungkan daya beli masing-masing mata uang, yang dikenal dengan purchasing power parity (PPP).
Barang yang lazim dipakai sebagai perbandingan misalnya ‘big mac’, sandwich dari McDonald, atau segelas kopi Starbucks. Ini karena kedua jenis barang ini dijual di banyak negara. Misalnya harga big mac di Jakarta Rp 10 ribu, sementara di New York 1 dollar dan kurs rupiah terhadap dollar Amerika adalah 9500 maka kurs Rupiah dianggap terlalu mahal. Nah, karena kurs Rupiah dianggap terlalu mahal maka akan muncul ekspektasi bahwa kurs Rupiah akan melemah. Namun hal ini tentunya tidak memperhitungkan tingkat produktifitas suatu negara. Bila menggunakan ukuran ini, kurs Rupiah saat ini justru terlihat terlalu murah (dollar terlalu kuat) cukup besar, yaitu sekitar 40% (the Big Mac Index July 2013,www.economist.com)
Pendekatan praktis yang terlihat banyak dipakai adalah dengan melihat kondisi fundamental ekonomi dari sisi neraca berjalan (current account) suatu negara. Bila neraca berjalan suatu negara mengalami defisit maka kurs akan mengalami tekanan melemah karena persepsi akan berkurangnya pasokan devisa.
Tekanan melemah akan semakin kuat bila di dalam kenyataan memang dirasakan semakin sulit mendapatkan mata uang asing. Biasanya, ini diikuti dengan fluktuasi kurs yang tinggi (high volatility).
Fenomena serupalah yang terlihat dengan kurs Rupiah terutama sejak akhir tahun 2012 lalu. Memang pada tahun 2012, Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan. Hal yang belum pernah terjadi sejak tahun 1997.
Meski demikian, tentu bukan tanpa alasan bila terjadi defisit transaksi berjalan karena memang Indonesia termasuk menjadi tujuan untuk penanaman modal dari investor asing, termasuk yang ingin membeli saham dan surat utang di Indonesia. Investasi tentunya memerlukan barang-barang modal, seperti mesin, yang harus diimpor sehingga meningkatkan impor. Sementara di sisi lain, perkembangan ekspor sedang turun karena ekonomi global yang belum pulih dari krisis global 2008.
Dalam situasi yang demikian, yang penting tentunya adalah memastikan bahwa impor yang terjadi adalah untuk hal yang produktif, agar pada saatnya dapat meingkatkan kapasitas produksi dalam negeri, menambah lapangan kerja dan mengurangi kebutuhan untuk impor barang.
Kurs, yang pnting menjaga kepercayaan Terhadap nilai tukar suatu negara, tantangan terberat adalah menjaga agar tidak terjadi persepsi yang berlebihan terhadap kelangkaan valas. Juga agar aksi spekulasi tidak makin subur. Hal ini tentu yang menjadi landasan pendekatan kebijakan terkait kurs Rupiah yang dilakukan Bank Indonesia, yang diberikan mandat untuk menjaga nilai Rupiah. Pada prinsipnya, Bank Indonesia, sebagaimana bank sentral lain tentunya menjaga agar bila kurs Rupiah melemah maka tidak berlebihan dan juga agar tidak dengan tingkat fluktuasi yang tinggi agar tidakmenimbulkan ketidakpastian.
Komentar pedagang elektronik Ketika kepadanya ditanyakan “Pak, bagaimana kalau kurs tetap di sekitar 10.000 per dollar?”. Dia mengatakan, “Pak, buat kami, mau 10.000, 20.000 atau 5.000 per dollar tidak masalah, yang penting tidak terlalu bergejolak sehingga kami bisa perkirakan”. Pendapatnya masuk akal, apalagi sejarah kurs di masa lalu memang menguatkan bahwa pergerakan kurs dijaga stabil, sehingga dia tidak perlu repot-repot harus menghitung biaya untuk menghindari kerugian kurs dengan melakukan ‘asuransi’ nilai tukar (hedging).
Memang pendekatan yang lazim dilakukan bank sentral dalam masyarakat yang belum terbiasa dengan pergerakan kurs yang cukup tinggi, adalah dengan menjaga kecukupan pasokan valas di pasar melalui intervensi (menjual valas) pada saatmemang diperlukan. Ini penting agar persepsi akan makin langkanya valas di pasar tidak makin menjadi-jadi.
Selain itu, bank sentral, termasuk Bank Indonesia, juga terus memonitor untuk mencegah agar situasi tidak dimanfaatkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk berspekulasi dalam perdagangan mata uang.Memastikan agar setiap transaksi valas benar-benar dilandasi oleh kebutuhan dan kegiatan ekonomi.
Menjaga stabilitas pergerakan nilai tukar adalah suatu keharusan agar kepercayaan terhadap mata uang, termasuk Rupiah, tidak tergerus. Kepercayaan terhadap suatu mata uang, dengan menjaga daya belinya baik terhadap barang dan terhadap mata uang, tak lain adalah menjaga eksistensi suatu negara. Menjaga kepercayaan dan mengelola ekspektasi adalah kuncinya. Ini jelas bukan hal mudah karena memerlukan kredibilitas yang tinggi, yang diperoleh dengan menunjukkan konsistensi dan bukti-bukti.Tentu juga perlu mendorong agar pelaku pasar termasuk para pedagang di Glodog tadi semakin pintar dan mandiri dalam mengelola risiko kurs bila melihat ‘medan perang’ ke depan. Hal ini tentunyasangat disadari oleh Bank Indonesia dan menjadi acuan terkait kebijakan dalammenjaga stabilitas pergerakan kurs Rupiah!
Priy.BN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar